Satu Tandatangan Menuju Doktor Seni

Disertasi, puncak pemikiran penelitian yang telah lama diimpikan, dalam bentuk yang mungkin tidak sempurna, namun penuh perjuangan didalamnya. Disertasi seperti layaknya anak yang telah dikandung, dibesarkan, umurnya lebih tua dari pada Lyubov. Selama 2014-2022, sebuah tahun-tahun penuh dengan pergolakan pemikiran untuk berujung pada Disertasi. Bahkan kehidupan sepertinya memberikan hasil yang signifikan. Hari ini, 6 dari 7 tandatangan penguji telah didapatkan. Artinya, satu tandatangan lagi, maka ujian Tertutup untuk mendapatkan gelar doktoral di depan mata.

Dr.Sn. (Cand.) Angga Kusuma Dawami, M.Sn, menjadi Dr. Sn. Angga Kusuma Dawami. Sebuah perjalanan intelektual penuh dengan intrik pengetahuan yang entah apakah ini benar atau salah. Bukankah kehidupan memang seperti itu, antara benar dan salah untuk membentuk diri sebagai bagian dari masyarkat, lalu kemudian, apa setelah ini.

St. Sunardi, Dr. St. Sunardi tepatnya, yang aku memanggilnya Prof Nardi, karena justru bukan Doktor yang patut untuk di depan nama beliau, tapi Professor. Gelar akademik tertinggi ini seperti pantas meskipun harus menggunakan Hc, atau Honoris Cuasa. Sebuah perjuangan yang panjang bertemu beliau ketika mata kuliah Filsafat Seni. Sebuah mata kuliah yang diganjar dengan nilai A pada akhir semester. Tentu bahagia, bahwa apa yang menjadi jalan pikiran hari ini adalah sebuah tataran yang patut diapresiasi sebagai Filsuf. Tapi Filsuf macam apa yang akan kau dapati setelah Dr. Sn. menjadi nama depanmu.

Pemikirannya yang bukan hanya sekedar bentuk pemikiran Doktoral membawaku pada titik ini, titik dimana aku mulai menyadari bahwa disertasi ini memang bermasalah ketika dimulai sebagai penelitian disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor. Tapi apakah nantinya formalitas menjadi penting untuk terus hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran. Tidak, tentu tidak.

Satu tandatangan ini memang berarti untukku, tapi tidak boleh menyerah hanya karena ada tambahan intepretasi tentang culture studies, kajian budaya. Meskipun Kris Budiman telah mendasarkan bagaimana cara kerja kajian budaya ini, tapi sepertinya aku juga tertatih menggunakannya. Entah apa yang ditulis dalam disertasi apakah benar atau salah, biarkan pengujian pada Tertutup yang menentukan.

Aku telah pasrah anakku ini dibantai sampai pada batasnya. Batas yang tidak pernah tau pada titik apa disertasi ini akan bertahan untuk pantas menjadi bagian dari nama depanmu, Mbon. Kau mengorbankan kehidupan istrimu, mengorbankan kehidupanmu, mengorbankan mimpi-mimpi yang telah disepakati. Apa yang bisa kau dapati dari satu tandatangan penting ini?

Begini Pak Nardi, Prof Nardi, bahwa apa yang sudah aku usahakan adalah apa yang bisa terbaik aku sajikan sebagai bagain yang tidak terpisahkan dalam disertasi ini. Ayolah, bantai aku di Tertutup. Aku bertanggungjawab atas semua tulisan yang menjadi hasil karya pemikiranku. Apapun nanti bentuknya setelah revisi tertulis, ataupun harus terbuka sekalipun, aku akan memperjuangkannya sebagai bagian dalam kehidupan. Filsafat seni seperti apa yang nantinya mengendap tidak akan aku sia-siakan sebagai bagain dari tubuh ini.

Ketubuhan, Fenomenologi, Hermeneutik, Filsafat, semuanya sepertinya telah lebur pada disertasi ini, segala masukan, meskipun nanti Prof Budi Hardiman, atau Prof Bambang Sunarto masuk, ataupun Prof Ahimsa masuk bagiku adalah guru-guru yang menciptakan pemikiranku saat ini.

Jadi tandatanganlah, kita bertarung secara intelektual dalam Ujian Tertutup.

Leave a comment