Budaya Berubah, Semua Akan Sama Pada Utopia

Kita menghadapi distrupsi teknologi yang begitu masif, memberikan dampak terhadap apa yang kita hadapi berbeda pada keseharian. Tanpa kehidupan yang baik, kita akan terhidup oleh pemikiran monoton untuk digerakkan oleh teknologi. Utopia dunia penuh dengan kekuasaan manusia hanyalah utopia. Lalu, apa yang seharusnya manusia itu lakukan? Apakah sebenarnya kita benar-benar mengikuti perubahan budaya dan berada pada utopia yang sama?

Apa yang perlu didiskusikan adalah tentang bagaimana sebuah budaya hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran manusia. Manusia sendiri memberikan dampak terhadap perubahan budaya, namun sebagian yang lain ingin mempertahankan budaya pada porsi yang seharusnya. Memang seharusnya harus konsisten? Bukankah yang abadi adalah perubahan itu sendiri? Tentang bagaimana budaya manusia berkecimpung pada kehidupan yang nantinya memberikan dampak pada manusia itu sendiri.

Semua berpihak pada kebaikan, semua berpihak kepada apa yang lebih baik untuk masa depan. Tapi apakah utopia tentang masa depan adalah kesamaan visi yang membuat konstruksi pemikiran yang baik untuk masa depan itu sendiri? Kita berkutat pada kehidupan yang monoton, membuat utopia juga monoton, dan menutup diri untuk manusia lain. Sehingga hanya berkutat pada bayangan masa lalu untuk menjadi manusia.

Kita ini hanya sekedar bagian yang tidak terpisahkan pada masa lalu, pada kehidupan yang mungkin tidak akan baik untuk masa depan, tapi apakah mungkin budaya hanyalah budaya? Tidak lebih dari itu? Konsep utopia apa yang merubah budaya yang sebenarnya kita maksudkan untuk masa depan?

Rencana

Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, Rencana, kapan merealisasikannya?

Membangun Privilege

Asam urat datang, merenung kembali, karena tyada bisa beraktivitas dengan baik ketika teman lama ini berkunjung pada peresendian kaki. Aku selalu senang, meskipun sedikit tersiksa karena dia ternyata masih bersemanyam dan karena kemarukan, keinginan untuk makan yang tidak terkontrol menjadi kembali menyapa. Apalah artinya tubuh muda ini namun banyak yang mengatakan bahwa aku ini berusia tua. Tidak sesuai dengan usiaku hari ini. Terlalu tua untuk membicarakan hal-hal berat. Bahkan terlampau berat.

Aku kembali membuka masa kecil Iman Lyubov Dawamova. Aku ingat betapa merayapnya aku menghadapi kehidupan dengan istri tercinta, Miranti Kencana Wirawan. Seorang ibu muda yang berusaha menerima kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan impiannya. Mungkin aku merupakan orang yang dicinta, tapi sepertinya pengorbananku belumlah apa-apa. Ambisi S3, ambisi Profesor, ambisi menjadi yang lebih bijak menjadi pembentur segala impiannya. Maafkan suamimu ini, Ay. Lyubi, malaikat kecil yang terus memberikan diri pembelajaran. Memberikan pandangan baru tentang hidup. Memberikan kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Terlebih ketika studi S3, Maryam Montessori Dawamova, lahir. Dengan selamat, dengan bahagia.

Aku bahkan tidak menyangka dengan semua keberkahan yang diberikan. Mungkin itu kuasa Allah yang berikan dengan segala ambisi yang ada. Aku masih ingin terus menjalani kehidupan dengan baik, dengan caraku dengan bagian yang tidak terpisahkan dengan semua impian dalam keluarga ini. Politik kampus yang begitu pelik, dengan segala kepentingan menjadikan sebuah keputusan frontal untuk menetap di Solo, menjalani hidup dengan baik disini dengan segala konsekuensi logisnya. Termasuk kekurangan uang untuk perjalanan ke Jakarta.

Tapi bukankah itu privilege yang oleh bapak sebagai dosen, sebagai pendidik yang melihatmu hari ini melampaui beliau. Ya, memang, tapi kehidupan tidak seperti negeri dongeng yang minim masalah. Bahkan lebih kompleks dari kata ‘masalah’ itu sendiri. Lalu kemanakah privilege yang akan dibagun berikutnya. Ini yang menjadi tantangan, hadapan masa depan yang tidak pasti akan kemana arahnya. Apa yang bisa kita kendalikan, kendalikan. Kita ini hanya berusaha, selebihnya Allah yang menentukan privilege tersebut.

Aku mengamati bagaiman JVKE membuat Golden Hour-nya. Secara seksama sebenarnya itu bukan sebuah kebetulan mengapa Golden Hour tercipta. Melihat JVKE aku merasa bahwa sebenarnya privilege merupakan bagian penting. Dia hadir di musik dari ibunya, diajari oleh banyak orang dengan berbagai instrumen, dan menciptakan banyak lagu dari pengalaman estetisnya. Melihat sisi lain Denny Caknan yang juga mengalami pasang surut kehidupan, sepertinya memiliki benang merah yang sama. Meskipun Denny tidak berangkat dari keluarga seniman, namun karyanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian tentang cinta. Itu privilege juga sebetulnya.

Menyadari bahwa privilege penting, maka kita tidak sertamerta taken for granted, yang ada begitu saja. Hal itu diciptakan, layaknya diri ini diciptakan dari privilege bapak yang merupakan dosen dengan jam terbang manajemen universitasnya yang begitu panjang. Aku melihat bapak dulu seperti melihat sahabat dosenku di kampus, Yulianto Hadiprawiro. Seorang fighter dengan banyak sawah (kampus lain) untuk dapat menghidupi keluarganya. Meskipun berbeda latarbelakang, namun perjuangannya pantas untuk dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari apa yang aku sebut sebagai privilege. Itu tetap harus diciptakan.

Bagaimana membangunnya? Menggunakan pandangan Heidegger yang terinspirasi dari Husserl, pra-pemahaman tentang privilege ini perlu disadari sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian. Itu tidak bisa dipungkiri, tidak bisa pula di tolak, karena itu melekat pada pengalaman kita sebagai being, kata Heidegger. Apakah itu benar? Ya kita bisa mengamini dengan keyakinan bahwa kita melalui masa-masa yang mungkin sudah kita lupakan, namun akan terus mengendap sebagai suatu hal. Yang suatu saat akan hadir dalam keluarnya karya atau hasil kerja pemikiran kita.

Aku menjalani pra-pemahaman, dengan duduk mendengarkan banyak lagu, mengikuti banyak film, membaca banyak buku, dan juga mendefinisikan kembali tentang apa yang aku percaya sebagai diri. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan nantinya. Maka, menyadari pra-pemahaman tentang privilege ini menjadi hal mutlak disadari. Tapi apa kemudian?

Setelah menyadari, maka kita akan menemukan kita hari ini, dan memikirkan tentang pencampuran horizon privilege macam apa yang sedang dijalani. Kita mungkin tidak menyadari bahwa kita sedang bertemu dengan horizon lain. Sehingga tujuan dari apa yang ingin kita capai sepertinya akan kabur/abu-abu. Lebih dari itu, kita hanya sekedar berusaha untuk meninterpreatsikan apa yang kita lalui. Bukankah ketika S3 ini menjadi hal yang biasa dilakukan dari setiap wawancara yang dilakukan.

Tapi aku melihat bahwa terdapat banyak hal yang terjadi pada dunia. Tentang bagaimana ChatGPT mempengaruhi privilege yang hadir dalam dunia. Dia sebagai alat biasa, yang mengungkapkan pemikiran dengan biasa, bahkan hampir tidak dapat dibedakan dengan orang yang biasa, menjadikan tidak terlihat. Apa yang sebenarnya membedakan kita dengan alat ini, selain pengungkapan masa lalu yang nantinya menjadi baik untuk diri kita sendiri.

Menentukan privilege, merupakan bagian untuk menginterpretasi apa yang kita yakini, dari masa lalu, masa depan, dan tentu hari ini. Bukankah hari ini adalah hadiah, setelah melewati kemarin yang menjadi sejarah kita, dan juga misteri pada masa depan. Ya, saatnya membagun kembali kesadaran tentang privilege tersebut.

Kembalikan Niat, Mengajar Bukan Untuk Mencari Uang

Senin indah bersama perjalanan. Gunung Merbabu, mantan objek TA menemani sepanjang perjalanan. Ingat betul bahwa setiap tapakan disana, dalam bulan-bulan penelitian memang menyenangkan. Bahkan sampai pada titik jenuh, mau ngapain lagi di jalur pendakian Cuntel. Ya, bahkan mengorbankan 1 motor, yang menemani perjalanan lintas jawa. Thunder 110cc yang menyenangkan. Terima kasih.

Beralih ke objek Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP), sebuah gaya yang in pada awal 2010. Mendefinisikan kembali pada tingkatan Thesis, dan menekankan bahwa WPAP merupakan Pop Art. Bersebrangan dengan itu, pernyataan WPAP sebagai portrait secara langsung ditabrakkan pada akarnya. Sebagai seni Ilustrasi, yang notabene mengikuti alur industri kreatif yang digadang-gadang mampu menjadi penopang ekonomi oleh banyak pekerja seni.

Oh iya, aku ini sebenarnya apa? Pengajar? Pembelajar? Ada banyak sekali pertanyaan, yang bertabrakan dengan kenyataan hidup. Pengajar yang penghasilannya untuk anak-anak masih harus pontang-panting, kiri-kanan? Atau sebenarnya aku hanya memuaskan diri sebagai pembagi ilmu, dan terus mencari jalan terbaik untuk belajar. Tapi bukankah menjadi guru adalah hal yang mulia, menyebarkan segala cara untuk kebaikan anak didiknya? Pahlawan tanpa tanda jasa, sampai-sampai harus berjualan untuk menutupi kebutuhannya.

Maka, setelah Disertasi ini ditandatangani, beberapa wejangan yang dilontarkan oleh promotor dan kopromotor adalah, menjadi pendidik, kalo memang itu menjadi tujuan, maka silahkan dinikmati sebagai pengalaman intelektual. Petualangan yang mengasyikkan, menjadi hal-hal yang menyenangkan untuk dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hidup. Kita ini sebenarnya hanya berusaha, toh Allah yang akan mencukupkan segalanya. Butuh ke Cikarang, cukup. Butuh liburan, cukup. Pengen beli barang ini, cukup.

Meskipun secara paradoks, hal ini akan sejajar dengan kebutuhan hidup serta oli yang melancarkannya, mari sebut itu uang, dan harta. Dimana kedua tidak bisa secara langsung diandalkan dari mengajar. Apalagi kampus yang hampir untuk bertahan hidup saja cukup pedih, apalagi harus merelakan sebagian hartanya untuk meningkatkan kualitas. Tapi bukan manusia kalo memang tidak penuh dengan cobaan. Maka, sebaiknya memang teguhkan niat. Kalau memang pada titik ini harus diperjuangkan, maka perjuangkan. Karena kita tidak tau bagaimana akhir dari kehidupan ini kelak, tetapkan hati untuk bersabar, dan terus berdiskusi. Mari kembalikan niat itu. Niat menjadi pembelajar, pemikir, dan juga tajir serta dicukupkan dengan berkah dari Allah. Aamiin.

Menyadari Masa Depan: Memberikan Pengharapan

Kita ini sebenarnya hidup, dan terus memaknai apa yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Mungkin kita hidup dalam kecemburuan terhadap orang lain, tentang bagaimana pencapaian orang lain lebih menggiurkan dibandingkan pencapaian kita sendiri. Tapi bukankah kehidupan harus berjalan dan memang ketakutan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri? Menyadari apa yang sebenarnya ingin dicapai pada masa depan merupakan usaha untuk memberikan pengharapan terhadap diri untuk menjadi manusia seutuhnya.

Memberikan pengharapan mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, bahkan diacuhkan, bukankah itu membuang waktu. Memberikan waktu pada titik yang tidak memungkinkan untuk hadir dalam kehidupan yang begitu bermakna. Kita ini sebenarnya apa? Sebenarnya bagaimana? Sebenarnya akan menuju apa? Bukankah semua itu adalah pengharapan semu untuk mencapai titik yang bahkan tidak disangka-sangka.

Menyadari masa depan tidak serta-merta menjadi bagian yang mudah. Kita memerlukan pengalaman terhadap kepahitan, kebahagiaan, kefanaan, bahkan penyadaran tentang siapa sebenarnya diri kita. Bukankah mendefinisikan kehidupan manusia selalu berbeda. Apa yang umum? Apa yang tidak menyenangkan untuk ditampilkan dalam eksistensi manusia itu sendiri. Menyadari kehidupan masa depan tidak menjadi baik apabila kita hanya sekedarnya saja memberikan pengetahuan tentang manusia itu sendiri.

Tentang bagaimana kita menyusuaikan diri untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, akan bergantung pada prespektif yang hadir dalam pengalaman keseharian. Kita mungkin mengutuknya, mengatakan bahwa itu tidak adil, tidak sepadan dengan apa yang sebenarnya patut kita dapatkan. Tapi bukankah setiap keputusan yang diluar dari kuasa manusia untuk menjadi manusia adalah diluar dari kemampuan kita. Jadi seperti apa sebenarnya manusia itu bertindak sebagai manusia untuk mengarapkan masa depan?

Apa Karena Aku Terbiasa Begini?

Aku selalu bekerja ketika pekerjaan rumah telah selesai. Telah ada makanan untuk dihidangkan pada anak istri, meskipun itu dengan memasak ataupun membeli di luar. Semua sepertinya sudah tersetting apabila semua telah aman, baru aku akan berangkat kerja. Untuk sekedar mengetik, mencurahkan hal-hal seperti ini, atau lebih dari itu, memikirkan masa depan.

Aku paham aku bukan pekerja yang bekerja dengan waktu dan tempat yang sesuai dengan yang lain. Tapi aku menyadari, tentang bagaimana membersamai anak-anak. Apakah ini waktunya? Untuk menjadi budak korporat yang seharusnya. Dosen sepertinya memang menjadi mesin pencetak lulusan, tidak lebih dari itu, dengan berbagai beban kerja. Tapi normalnya akan bekerja sesuai dengan jam dan waktu yang telah ditentukan layaknya pada kesempatan menandatangani kesepakatan kerja.

Aku memiliki ide untuk dapat bekerja setelah urusan rumah selesai. Namun, akhir-akhir ini aku melewati masa peralihan yang menjadikan diri ini sedikit bimbang tentang keputusan yang telah aku putuskan. Untuk menjadi bagian pekerjaan yang monoton, penuh dengan kebosanan di dalamnya. Menjalani rutinitas pekerjaan untuk ke Jakarta, menjadi bagian dari robot manusia yang menukarkan jiwanya untuk segepok uang hidup dalam bulan-bulan mendatang. Tapi apakah itu tantangan atau stagnasi yang akan dihadapi.

Bukankah hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan dimenangkan. Aku bahkan takut untuk membuka kembali Disertasi yang aku tulis. Meskipun aku muak juga terhadap tulisanku sendiri. Tapi bukankah itu harus dilewati sebagai bagian ambisi yang tidak akan selesai. Menjadi guru besar. Mungkin, tapi aku memikirkan tentang habitku bekerja akhir-akhir ini. Apakah ini yang aku impikan? Apakah mimpi keluarga ini berkecukupan tidak membuatmu semangat kembali. Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri?

Jam kerja yang sebenarnya tidak terikat memberikan dampak yang cukup signfikan terhadap kehidupan yang harus dijalani. Tentang bagaimana anak-anak akan makan, tentang bagaimana istri merasa kesepian. Padahal impiannya adalah aku terus dapat didekatnya. Tapi pada sisi lain, aku mengalami tekanan untuk menjadi pejuang rupiah untuk mereka. Apakah itu fair?

Mengorbankan waktu bersama mereka, dengan kualitas yang tidak sebaik dahulu. Tapi ini seharusnya dilewati dengan bahagia, dengan senyuman untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Tapi apa sebenarnya dilepaskan dalam pemikiran disertasi ini? Apakah sekolah hanya untuk gaya-gayaan, atau lebih dari itu, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Aku mempelajari tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diri. Tentang kekhawatiranku terhadap stress terhadap istri, tentang pekerjaan yang mungkin membuat sedikit stress, dan terbawa di rumah. Aku harus belajar tentang membuat kualitas, bukan kuantitas, dan itu sepertinya yang harus dilakukan. Mari bekerja.

Apa yang Bisa Kita Perbaiki?

Membangun kehidupan ini memang tidak semudah kelihatannya. Kita memerlukan masalah untuk terus tumbuh dewasa, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sendiri. Tentang kesalahan, kealpaan yang mungkin kita dapati, hanyalah sebagian dari kehidupan itu sendiri. Jadi, semua kesalahan yang menimpa pada diri hanyalah sebuah kesalahan yang mungkin kita perlu perbaiki, tapi kita juga perlu melihat kembali bentuk-bentuk kesalahan sebagai bahan evaluasi.

Semua kesalahan ini mungkin berdampak pada kehidupan untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Tentang bagaimana kehidupan memberikan pembelajaran tentang apa yang seharusnya diselesaikan. Tentang kesalahan yang menjadi beban hidup untuk terus dipikirkan. Lalu apa yang sebenarnya kita katakan tentang kesalahan dan tentang apa yang bisa kita perbaiki.

Kita memiliki bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Resiko untuk memperbaiki mungkin akan terdapat kesalahan lagi, tapi apakah kita ini hanya sekedar bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Kemudian apa yang bisa kita perbaiki untuk menjadi bagian dari kehidupan?

Tentang diri kita yang mungkin kacau pada akhirnya ketika menghadapi masalah, atau lebih dari itu, menjadi tidak terkendali. Kita ini sekedar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesedihan, kekecewaan, dan bagian yang tidak terkira lainnya. Apa yang bisa kita perbaiki?

Masa depan, tentang evaluasi yang bisa kita lakukan sebagai refleksi kehidupan kita sendiri. Mari mulai untuk melihat kembali masa lalu dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri.

Menjalani Belajar dalam Kehidupan

Setelah menyelesaikan misi untuk berkembangbiak, rasanya ingin kembali ke kenyataan bahwa kita ini sebenarnya hidup dan menginginkan reproduksi secara kehidupan. Yang notabene dilakukan oleh banyak orang untuk meneruskan masa depan. Meneruskan impian, meneruskan ambisi. Kita ini sebenarnya hanya ingin terus hidup namun tubuh hanya mampu sampai pada titik yang tiba saat kita hadir sebagai ruh dan jasad secara terpisah.

Aku berfikir tentang pengorbanan yang baik untuk masa depan, untuk menjadi manusia yang sejatinya manusia itu sendiri. Entah karena memang kita ini sebenarnya sedang berjalan, atau sebenarnya kita sedang diam untuk memahami kehidupan itu sendiri. Kita tidak akan pernah sampai apa yang kita impikan ketika kita tidak bermimpi untuk mencapai mimpi itu.

Bagaimana bisa sebuah mimpi dapat terwujud apabila kita tidak mengharapkan impian itu hadir. Tapi mengapa mimpi sangat indah, tapi kenyataan begitu pahit untuk dijalani. Bukankanh sebenarnya kita ini menyelesaikan kehidupan dengan baik. Bukankah sebenarnya kita berharap? Impian dan harapan adalah dua konsep yang seringkali dikaitkan dan dibicarakan bersamaan, meskipun keduanya memiliki perbedaan.

Impian adalah gambaran mental tentang sesuatu yang ingin dicapai atau diwujudkan di masa depan. Impian bisa berupa tujuan yang spesifik, seperti mendapatkan pekerjaan impian atau membeli rumah impian, atau bisa juga berupa keinginan yang lebih abstrak, seperti merasa bahagia dan merasa terpenuhi dalam hidup.

Sementara itu, harapan adalah keyakinan atau optimisme terhadap masa depan. Harapan bisa berupa keyakinan bahwa suatu hal akan terwujud, atau optimisme bahwa suatu situasi akan menjadi lebih baik di masa depan.

Kedua konsep ini seringkali saling terkait, karena impian dapat menjadi sumber harapan. Dalam banyak kasus, seseorang memiliki impian tertentu yang menjadi sumber motivasi dan semangat untuk mencapai tujuan tersebut di masa depan, sehingga mendorong mereka untuk terus berharap dan bekerja keras untuk mewujudkan impian tersebut.

Namun demikian, impian dan harapan juga bisa berbeda. Seseorang mungkin memiliki impian tertentu, tetapi tidak memilik harapan atau keyakinan bahwa impian tersebut akan tercapai. Sebaliknya, seseorang juga bisa memiliki harapan dan optimisme tanpa memiliki impian tertentu yang spesifik.

Dalam kehidupan sehari-hari, impian dan harapan dapat menjadi sumber motivasi dan semangat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Namun, perlu diingat bahwa impian dan harapan tidak akan tercapai tanpa usaha, kerja keras, dan kesabaran.

Belajar dari mimpi dan harapan bisa menjadi proses yang sangat berharga dalam hidup, karena dapat membantu kita menemukan tujuan dan makna dalam hidup kita. Impian dan harapan dapat memberikan arah dan tujuan dalam hidup. Mereka membantu kita untuk merencanakan dan mencapai sesuatu yang kita inginkan, baik itu dalam karir, hubungan, maupun kehidupan pribadi. Dengan adanya impian dan harapan, kita dapat merasa termotivasi dan bersemangat untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dari yang sekarang ada. Selain itu, impian dan harapan juga dapat membantu kita untuk melihat masa depan dengan lebih positif dan optimis. Mereka memberikan harapan dan keyakinan bahwa hidup kita memiliki arti dan tujuan yang lebih besar dari sekadar menjalani rutinitas sehari-hari. Oleh karena itu, impian dan harapan memainkan peran penting dalam hidup kita, memberikan motivasi, arah, dan makna dalam hidup.