Apa Karena Aku Terbiasa Begini?

Aku selalu bekerja ketika pekerjaan rumah telah selesai. Telah ada makanan untuk dihidangkan pada anak istri, meskipun itu dengan memasak ataupun membeli di luar. Semua sepertinya sudah tersetting apabila semua telah aman, baru aku akan berangkat kerja. Untuk sekedar mengetik, mencurahkan hal-hal seperti ini, atau lebih dari itu, memikirkan masa depan.

Aku paham aku bukan pekerja yang bekerja dengan waktu dan tempat yang sesuai dengan yang lain. Tapi aku menyadari, tentang bagaimana membersamai anak-anak. Apakah ini waktunya? Untuk menjadi budak korporat yang seharusnya. Dosen sepertinya memang menjadi mesin pencetak lulusan, tidak lebih dari itu, dengan berbagai beban kerja. Tapi normalnya akan bekerja sesuai dengan jam dan waktu yang telah ditentukan layaknya pada kesempatan menandatangani kesepakatan kerja.

Aku memiliki ide untuk dapat bekerja setelah urusan rumah selesai. Namun, akhir-akhir ini aku melewati masa peralihan yang menjadikan diri ini sedikit bimbang tentang keputusan yang telah aku putuskan. Untuk menjadi bagian pekerjaan yang monoton, penuh dengan kebosanan di dalamnya. Menjalani rutinitas pekerjaan untuk ke Jakarta, menjadi bagian dari robot manusia yang menukarkan jiwanya untuk segepok uang hidup dalam bulan-bulan mendatang. Tapi apakah itu tantangan atau stagnasi yang akan dihadapi.

Bukankah hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan dimenangkan. Aku bahkan takut untuk membuka kembali Disertasi yang aku tulis. Meskipun aku muak juga terhadap tulisanku sendiri. Tapi bukankah itu harus dilewati sebagai bagian ambisi yang tidak akan selesai. Menjadi guru besar. Mungkin, tapi aku memikirkan tentang habitku bekerja akhir-akhir ini. Apakah ini yang aku impikan? Apakah mimpi keluarga ini berkecukupan tidak membuatmu semangat kembali. Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri?

Jam kerja yang sebenarnya tidak terikat memberikan dampak yang cukup signfikan terhadap kehidupan yang harus dijalani. Tentang bagaimana anak-anak akan makan, tentang bagaimana istri merasa kesepian. Padahal impiannya adalah aku terus dapat didekatnya. Tapi pada sisi lain, aku mengalami tekanan untuk menjadi pejuang rupiah untuk mereka. Apakah itu fair?

Mengorbankan waktu bersama mereka, dengan kualitas yang tidak sebaik dahulu. Tapi ini seharusnya dilewati dengan bahagia, dengan senyuman untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Tapi apa sebenarnya dilepaskan dalam pemikiran disertasi ini? Apakah sekolah hanya untuk gaya-gayaan, atau lebih dari itu, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Aku mempelajari tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diri. Tentang kekhawatiranku terhadap stress terhadap istri, tentang pekerjaan yang mungkin membuat sedikit stress, dan terbawa di rumah. Aku harus belajar tentang membuat kualitas, bukan kuantitas, dan itu sepertinya yang harus dilakukan. Mari bekerja.

Leave a comment