Membangun Privilege

Asam urat datang, merenung kembali, karena tyada bisa beraktivitas dengan baik ketika teman lama ini berkunjung pada peresendian kaki. Aku selalu senang, meskipun sedikit tersiksa karena dia ternyata masih bersemanyam dan karena kemarukan, keinginan untuk makan yang tidak terkontrol menjadi kembali menyapa. Apalah artinya tubuh muda ini namun banyak yang mengatakan bahwa aku ini berusia tua. Tidak sesuai dengan usiaku hari ini. Terlalu tua untuk membicarakan hal-hal berat. Bahkan terlampau berat.

Aku kembali membuka masa kecil Iman Lyubov Dawamova. Aku ingat betapa merayapnya aku menghadapi kehidupan dengan istri tercinta, Miranti Kencana Wirawan. Seorang ibu muda yang berusaha menerima kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan impiannya. Mungkin aku merupakan orang yang dicinta, tapi sepertinya pengorbananku belumlah apa-apa. Ambisi S3, ambisi Profesor, ambisi menjadi yang lebih bijak menjadi pembentur segala impiannya. Maafkan suamimu ini, Ay. Lyubi, malaikat kecil yang terus memberikan diri pembelajaran. Memberikan pandangan baru tentang hidup. Memberikan kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Terlebih ketika studi S3, Maryam Montessori Dawamova, lahir. Dengan selamat, dengan bahagia.

Aku bahkan tidak menyangka dengan semua keberkahan yang diberikan. Mungkin itu kuasa Allah yang berikan dengan segala ambisi yang ada. Aku masih ingin terus menjalani kehidupan dengan baik, dengan caraku dengan bagian yang tidak terpisahkan dengan semua impian dalam keluarga ini. Politik kampus yang begitu pelik, dengan segala kepentingan menjadikan sebuah keputusan frontal untuk menetap di Solo, menjalani hidup dengan baik disini dengan segala konsekuensi logisnya. Termasuk kekurangan uang untuk perjalanan ke Jakarta.

Tapi bukankah itu privilege yang oleh bapak sebagai dosen, sebagai pendidik yang melihatmu hari ini melampaui beliau. Ya, memang, tapi kehidupan tidak seperti negeri dongeng yang minim masalah. Bahkan lebih kompleks dari kata ‘masalah’ itu sendiri. Lalu kemanakah privilege yang akan dibagun berikutnya. Ini yang menjadi tantangan, hadapan masa depan yang tidak pasti akan kemana arahnya. Apa yang bisa kita kendalikan, kendalikan. Kita ini hanya berusaha, selebihnya Allah yang menentukan privilege tersebut.

Aku mengamati bagaiman JVKE membuat Golden Hour-nya. Secara seksama sebenarnya itu bukan sebuah kebetulan mengapa Golden Hour tercipta. Melihat JVKE aku merasa bahwa sebenarnya privilege merupakan bagian penting. Dia hadir di musik dari ibunya, diajari oleh banyak orang dengan berbagai instrumen, dan menciptakan banyak lagu dari pengalaman estetisnya. Melihat sisi lain Denny Caknan yang juga mengalami pasang surut kehidupan, sepertinya memiliki benang merah yang sama. Meskipun Denny tidak berangkat dari keluarga seniman, namun karyanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian tentang cinta. Itu privilege juga sebetulnya.

Menyadari bahwa privilege penting, maka kita tidak sertamerta taken for granted, yang ada begitu saja. Hal itu diciptakan, layaknya diri ini diciptakan dari privilege bapak yang merupakan dosen dengan jam terbang manajemen universitasnya yang begitu panjang. Aku melihat bapak dulu seperti melihat sahabat dosenku di kampus, Yulianto Hadiprawiro. Seorang fighter dengan banyak sawah (kampus lain) untuk dapat menghidupi keluarganya. Meskipun berbeda latarbelakang, namun perjuangannya pantas untuk dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari apa yang aku sebut sebagai privilege. Itu tetap harus diciptakan.

Bagaimana membangunnya? Menggunakan pandangan Heidegger yang terinspirasi dari Husserl, pra-pemahaman tentang privilege ini perlu disadari sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian. Itu tidak bisa dipungkiri, tidak bisa pula di tolak, karena itu melekat pada pengalaman kita sebagai being, kata Heidegger. Apakah itu benar? Ya kita bisa mengamini dengan keyakinan bahwa kita melalui masa-masa yang mungkin sudah kita lupakan, namun akan terus mengendap sebagai suatu hal. Yang suatu saat akan hadir dalam keluarnya karya atau hasil kerja pemikiran kita.

Aku menjalani pra-pemahaman, dengan duduk mendengarkan banyak lagu, mengikuti banyak film, membaca banyak buku, dan juga mendefinisikan kembali tentang apa yang aku percaya sebagai diri. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan nantinya. Maka, menyadari pra-pemahaman tentang privilege ini menjadi hal mutlak disadari. Tapi apa kemudian?

Setelah menyadari, maka kita akan menemukan kita hari ini, dan memikirkan tentang pencampuran horizon privilege macam apa yang sedang dijalani. Kita mungkin tidak menyadari bahwa kita sedang bertemu dengan horizon lain. Sehingga tujuan dari apa yang ingin kita capai sepertinya akan kabur/abu-abu. Lebih dari itu, kita hanya sekedar berusaha untuk meninterpreatsikan apa yang kita lalui. Bukankah ketika S3 ini menjadi hal yang biasa dilakukan dari setiap wawancara yang dilakukan.

Tapi aku melihat bahwa terdapat banyak hal yang terjadi pada dunia. Tentang bagaimana ChatGPT mempengaruhi privilege yang hadir dalam dunia. Dia sebagai alat biasa, yang mengungkapkan pemikiran dengan biasa, bahkan hampir tidak dapat dibedakan dengan orang yang biasa, menjadikan tidak terlihat. Apa yang sebenarnya membedakan kita dengan alat ini, selain pengungkapan masa lalu yang nantinya menjadi baik untuk diri kita sendiri.

Menentukan privilege, merupakan bagian untuk menginterpretasi apa yang kita yakini, dari masa lalu, masa depan, dan tentu hari ini. Bukankah hari ini adalah hadiah, setelah melewati kemarin yang menjadi sejarah kita, dan juga misteri pada masa depan. Ya, saatnya membagun kembali kesadaran tentang privilege tersebut.

Leave a comment